Oleh
:
MEGAWANDI P. TARIHORAN
NIM:
137003050
Email: mg.wandi@gmail.com
I. PENDAHULUAN
Potensi
dan keunggulan ekonomi merupakan salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki
oleh suatu wilayah agar dapat menjamin terjadinya aktifitas pembangunan dan
pertumbuhan wilayah itu sendiri. Sumber pertumbuhan wilayah sebagai basis
kegiatan ekonomi dapat berupa sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Setiap
daerah memiliki sumberdaya alamnya, dengan kharakteristiknya masing-masing,
secara kuantitas maupun kualitas, serta memiliki nilai manfaat, baik itu
ditinjau dari nilai ekonomi, sosial dan budaya.
Pembangunan
suatu wilayah tidak terlepas dari upaya memaksimalkan pemanfaatan setiap
sumberdaya yang ada diwilayah tersebut, dengan melibatkan rekayasa teknologi,
sebagai upaya menghasilkan nilai tambah ekonomis yang kemudian hasilnya digunakan
untuk mensejahterakan masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut. Upaya
memaksimalkan nilai tersebut dilakukan dengan menyusun strategi kebijakan dan
program-program pembangunan yang sesuai dengan tujuan peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Menurut
Todaro (1998) istilah Pembangunan merupakan sebuah cerminan proses terjadinya
perubahan sosial suatu masyarakat, tanpa mengabaikan keragamaan kebutuhan dasar
dan keinginaan individual maupun kelompok sosial atau institusi yang ada di dalamnya,
untuk kemudian mencapai kondisi kehidupan yang lebih baik. Kartodihardjo (1999
dalam Sinukaban 2007; 2004), menyatakan bahwa kinerja pembangunan pada umumnya
dipengaruhi oleh empat faktor penentu, yaitu sumberdaya alam (natural capital),
sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya buatan manusia (man made capital),
dan kelembagaan formal maupun informal masyarakat (social capital).
Pembangunan ekonomi
daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan kelompok-kelompok masyarakat
mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara
pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru
dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut (Arsyad,
2002).
Pembangunan dalam bidang
apapun pada hakikatnya menghendaki terjadinya keseimbangan, dan tercermin dalam
konsep pemerataan pembangunan. Potensi unggulan daerah dapat dikembangkan
secara terarah dan terpadu, sesuai dengan tujuan pembangunan daerah, yang diharapkan
dapat meningkatkan produktivitas ekonomi daerah. Kemampuan memacu pertumbuhan
suatu wilayah atau daerah sangat tergantung dari keunggulan atau daya saing
sektor-sektor ekonomi di wilayahnya (Rustiadi,et al,2009).
Sektor Potensial atau sektor unggulan dalam ekonomi regional dapat
dinyatakan dengan sektor basis. Sektor Basis pada dasarnya harus dikaitkan
dengan suatu bentuk perbandingan, baik perbandingan dalam skala internasional,
nasional maupun regional. Dengan melakukan identifikasi terhadap daya
saing dan produk unggulan suatu daerah merupakan langkah penting dalam pembangunan
ekonomi wilayah.
II. DEFENISI DAYA SAING WILAYAH
Daya Saing (competitiveness) merupakan salah satu kata kunci yang
lekat dengan pembangunan ekonomi lokal/daerah. Setiap daerah sebaiknya memiliki
faktor kekuatan daya saing, sebagai kunci pokok dalam memasuki ekonomi pasar.
Ekonomi pasar merupakan pasar persaingan yang terbuka, terutama pasar nasional
dan pasar internasional. Banyak produk yang ditawarkan memiliki kesamaan jenis
dan fungsi, sehingga mengakibatkan konsumen selektif dalam memilih. Perilaku
konsumen kemudian dipengaruhi oleh perbandingan antara kualitas dan kuantitas
barang atau jasa yang ditawarkan berbanding dengan harganya. Semakin banyak
pilihan semakin membuat konsumen selektif dalam menentukan pilihannya. Oleh
sebab itu, maka daya saing sebuah produk ataupun jasa menjadi isu penting bagi
para produsen untuk dapat mengungguli para kompetitornya. Dalam konteks
wilayah, maka daya saing wilayah merupakan kemampuan sebuah wilayah
menghasilkan produk barang dan jasa dari wilayah tersebut yang bernilai
kompetitif.
Teori Keunggulan
Kompetitif dipelopori oleh Michael Eugene Porter (1986) yang menulis
berbagai buku dan artikel tentang manajemen dan
antara lain dikenal dengan Teori Analisis Lima Kekuatan Porter
(Porter Five Forces Analysis). Porter menyatakan bahwa suatu negara akan memperoleh
keunggulan daya saing jika perusahaan yang ada di negara tersebut juga memiliki
kemampuan kompetitif. Daya saing suatu negara kemudian ditentukan oleh
kemampuan industri dalam negeri melakukan inovasi dan meningkatkan kemampuannya
dalam memproduksi barang.
Scott dan Lodge (1985), memberikan
definisi Daya Saing sebagai berikut adalah kemampuan suatu negara menciptakan,
memproduksi dan/atau melayani produk dalam perdagangan internasional, sementara
dalam saat yang sama negara tersebut tetap dapat memperoleh imbalan yang
meningkat pada sumber dayanya. Huggins (2003) dalam sebuah publikasinya yang tertuang dalam
“UK Competitiveness Index” menyatakan bahwa Daya Saing Daerah/wilayah adalah
kemampuan dari ekonomi daerah untuk menarik dan mempertahankan
perusahaan-perusahaan dengan kondisi stabil atau meningkatkan aktifitas pangsa
pasarnya dengan tetap mempertahankan atau malah meningkatkan standar kehidupan
bagi yang terlibat didalamnya.
Dari
beberapa pengertian diatas maka daya saing wilayah erat kaitannya dengan
kemampuan wilayah tersebut untuk beraktifitas dalam perekonomian wilayah secara
kompetitif, menghasilkan produk dan jasa yang dapat bersaing sehingga mendapat
hasil yang positif bagi perekonomian wilayah tersebut, termasuk juga distribusi
kesejahteraan yang lebih luas dalam masyarakatnya. Daya saing wilayah merupakan
perwujudan dari aktifitas pembangunan ekonomi lokal masyarakat (LED: Local
Economic Development). Meyer-Stamer (2003) menyatakan bahwa “Local
Economic Development is about competitiveness–it is about companies thriving in
competitive markets and locations thriving in a competitive, globalised world.” Dengan
demikian, maka daya saing wilayah erat kaitannya dengan prinsip-prinsip otonomi
daerah dan desentralisasi, sebagai salah satu faktor utama dalam pembangunan
dan pengembangan wilayah.
Kebijakan pembangunan
daerah sebaiknya didasarkan pada keunikan/kekhasan yang dimiliki oleh
masing-masing daerah, yang kemudian memanfaatkan secara maksimal potensi sumber
daya manusianya untuk terlibat dan berperan aktif secara kreatif dalam setiap
prosesnya. Dengan begitu maka proses pembangunan melahirkan prakarsa baru dalam
kebijakan yang berasal dari daerah itu sendiri, merangsang terjadinya
kegiatan-kegiatan ekonomi yang melahirkan kesempatan kerja baru, dan pada
akhirnya memberikan manfaat yang luas pada kesejahteraan masyarakat.
Produk Unggulan adalah
menjadi salah satu faktor utama keunikan/kekhasan yang dimiliki oleh suatu
daerah, berdasarkan potensi alamiah sumber daya alam. Secara umum, produk
merupakan suatu hasil proses produksi yang dihasilkan oleh produsen secara
kontiniu. Suatu produk dapat dikatakan unggul apabila produk tersebut mampu
memberikan kontribusi yang cukup besar, minimal efek positif kepada produsen
itu sendiri.
Kriteria yang digunakan
dalam menentukan keunggulan suatu produk dikemukakan oleh Alkadri (2001) dalam
Daryanto (2003) adalah sebagai berikut:
1.
Memiliki kemampuan menjadi penggerak utama
(prime mover) pembangunan perekonomian daerah,
2.
Memiliki keterkaitan ke depan dan ke
belakang yang kuat, baik antar sesama produk unggulan maupun komoditas lainnya,
3.
Mampu bersaing dengan produk/komoditas
sejenis dari wilayah lain di pasar nasional maupun internasional, baik dalam
hal harga produk, biaya produksi, maupun kualitas pelayanan,
4.
Memiliki keterkaitan dengan wilayah lain
baik dalam hal pasar maupun pasokan bahan baku,
5.
Memiliki kemampuan teknologi yang terus
meningkat,
6.
Mampu menyerap tenaga kerja berkualitas
secara optimal sesuai dengan skala produksinya,
7.
Produk dapat bertahan dalam jangka panjang
tertentu,
8.
Tidak rentan terhadap gejolak eksternal
dan internal,
9.
Pengembangannya harus mendapatkan berbagai
bentuk dukungan (keamanan, sosial, budaya, informasi dan peluang pasar, kelembagaan,
fasilitas insentif/disinsentif, dan lainnya, dan
10. Pengembangannya
berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan lingkungan.
Peranan pemerintah daerah
sangat penting dalam pengembangan dan pemberdayaan produk unggulan daerah sebagai
salah satu pilar pengembangan ekonomi dan pembangunan wilayah. Oleh karena itu
maka upaya peningkatan produk unggulan daerah merupakan tanggungjawab yang saling
berperan antar satuan kerja perangkat daerah sesuai dengan kewenangannya
masing-masing.
III. RUMUSAN MASALAH
Kecenderungan globalisasi
dan regionalisasi sekaligus membawa tantangan dan peluang bagi pembangunan
daerah. Terjadi pergerakan yang cukup signifikan pada tingkatan ekonomi global,
sehingga mau tidak mau secara otomatis melakukan koreksi terhadap ekonomi
nasional, regional sampai kepada tingkatan lokal. Persaingan yang semakin
terbuka pada pasar produksi barang dan jasa disatu sisi, tetapi menaikkan
semangat nasionalisme produk dan jasa (kualitas sumberdaya manusia) di sisi
lain. Serbuan barang-barang dari luar daerah bahkan dari luar negara
mengakibatkan semangat untuk memproduksi barang dalam negeri semakin menguat.
Keadaan ini sebaiknya dicermati dengan matang, agar kebijakan pembangunan
daerah terutama pembangunan ekonomi dan sosial (sumber daya manusia) dapat
efisien dan efektif.
Oleh sebab itu mengetahui
dengan baik sektor ekonomi produktif unggulan dalam suatu wilayah merupakan
suatu keharusan, agar pemerintah daerah dapat melakukan intervensi kebijakan
dan program kegiatan yang mampu meningkatkan daya saing sektor unggulan
tersebut.
IV. METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian
ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk
menganalisis sektor ekonomi suatu wilayah, sehingga dapat dilihat sektor
ekonomi dan sub sektor apa yang menjadi unggulan di suatu kawasan, sehingga
perlu dilakukan strategi kebijakan agar mampu berdaya saing dalam pasar ekonomi
regional secara berkelanjutan.
B. Jenis Data Dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data-data sekunder yang
berasal dari instansi resmi pemerintahan serta dokumen terkait lainnya, baik
itu yang bersifat statistical maupun non-statistical. Untuk instansi yang relevan
maka sumber data berasal dari Biro Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Utara
maupun Propinsi Sumatera Utara, dengan jangka waktu data berjangka (time
series) 5 tahun terakhir.
V. METODE ANALISIS DATA
Rumusan masalah
penelitian tentang sektor basis unggulan ini digunakan dengan alat Analisis
Location Quotient (LQ). Metode LQ
merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam model ekonomi basis
sebagai langkah awal untuk memahami sektor kegiatan dari PDRB suatu wilayah,
dalam hal ini Kabupaten Tapanuli Utara.
Metode LQ digunakan untuk
mengkaji dan melihat kondisi perekonomian yang menjadi pemacu pertumbuhan,
mengarah pada identifikasi spesialisasi/basis kegiatan perekonomian. Untuk memperoleh
nilai LQ dengan mengacu pada formula yang dikemukakan oleh Bendavid-Val dalam
Kuncoro (2004) sebagai berikut:
Dimana:
PDRBm,i = PDRB sektor i di Kabupaten
Tapanuli Utara pada tahun tertentu.
ΣPDRBm
= Total PDRB di Kabupaten Tapanuli Utara pada tahun tertentu.
PDRBsb,i = PDRB sektor i di Propinsi Sumatera
Utara pada tahun tertentu.
ΣPDRBsb
= Total PDRB di Propinsi Sumatera Utara pada tahun tertentu.
Ada tiga kemungkinan nilai LQ yang dapat diperoleh dengan
menggunakan metode tersebut, yaitu:
1. Nilai
LQ = 1; berarti bahwa tingkat spesialisasi/basis sektor i di suatu wilayah
(kabupaten) adalah sama, dengan sektor yang sama dalam perekonomian wilayah
diatasnya (propinsi),
2. Nilai
LQ > 1; berarti bahwa tingkat spesialisasi/basis sektor i di suatu wilayah
(kabupaten) lebih besar dibandingkan dengan sektor yang sama dalam perekonomian
diatasnya (propinsi),
3. Nilai
LQ < 1; berarti bahwa tingkat spesialisasi/basis sektor i di suatu wilayah
(kabupaten) lebih kecil dibandingkan dengan sektor yang sama dalam perekonomian
diatasnya (propinsi).
Atau dengan kata lain kesimpulannya adalah apabila nilai
LQ>1, maka dapat disimpulkan bahwa sektor tersebut merupakan sektor basis
dan potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian wilayah.
Sebaliknya apabila nilai LQ<1, maka sektor tersebut bukan merupakan sektor basis
dan kurang potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian wilayah.
Data yang digunakan dalam analisis Location Quotient (LQ)
ini adalah PDRB Kabupaten Tapanuli Utara dan Propinsi Sumatera Utara tahun 2008-2012 menurut
lapangan usaha atas dasar harga konstan tahun 2000.
VI. HASIL PEMBAHASAN
A. Kondisi Geografis dan Struktur
Ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara
Kabupaten Tapanuli Utara
adalah salah satu kabupaten yang termasuk dalam wilayah administratif Propinsi
Sumatera Utara. Terletak diwilayah dataran tinggi, berada pada ketinggian
antara 300-1500 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan kondisi topografi dan
kontur tanah untuk Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten
Tapanuli Utara memiliki karakteristik wilayah bergelombang dan berbukit serta
merupakan bagian dari pegunungan Bukit Barisan.
Secara geografis
Kabupaten Tapanuli Utara terletak pada koordinat 1º20’00” -2º41’00”
Lintang Utara (LU) dan 98005”-99016” Bujur Timur (BT). Dengan luas wilayah yang
dimiliki ± 3.800,31 Km2, dengan distribusi luas daratan sebesar 3.793,71 Km2
dan luas perairan Danau Toba sebesar 6,60 Km2. Dari 15 kecamatan yang ada di
Kabupaten Tapanuli Utara, Kecamatan Garoga merupakan kecamatan yang memiliki
areal terbesar sekitar 567,58 Km2 dan kecamatan yang memiliki luas areal
terkecil adalah Kecamatan Muara sekitar 79,75 Km2.
B. Struktur Ekonomi
Sebagai salah satu
wilayah di dataran tinggi, maka Kabupaten Tapanuli Utara sangat potensial untuk
pengembangan tanaman holtikultura dan berada pada jalur lintas antara beberapa
kabupaten/kota. Jika dilihat dari perkembangan PDRB wilayah selama kurun waktu
5 (lima) tahun terakhir, maka kontribusi dari kegiatan pertanian masih dominan
di kabupaten ini. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel
1. PDRB Kabupaten Tapanuli Utara Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 2000 (Milyar Rupiah) Tahun 2008-2012
Sumber
: Kabupaten Tapanuli Utara dalam Angka 2009-2013, BPS
Dari data yang ditunjukkan tabel tersebut terjadi peningkatan dari
kontribusi yang dihasilkan oleh sektor pertanian, dibandingkan penerimaan dari
sektor lainnya. Keadaan ini diperkuat dengan masih dominannya masyarakat yang
bekerja pada sektor pertanian. Berdasarkan Hasil pencacahan lengkap Sensus Tani
2013 diketahui bahwa jumlah rumah tangga usaha pertanian pada tahun 2013
sebesar 52.848 rumah tangga. Subsektor tanaman pangan, perkebunan, dan
peternakan merupakan tiga subsektor yang memiliki jumlah rumah tangga usaha
pertanian terbanyak yaitu masing-masing
46.480 rumah tangga, 42.079 rumah tangga, dan 26.746 rumah tangga. Sementara
itu, jasa pertanian merupakan subsektor yang paling sedikit memiliki rumah
tangga usaha pertanian, yaitu sebanyak 1.540 rumah tangga. Untuk lebih jelasnya
tentang struktur tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 dan Tabel 2 berikut ini:
Gambar 1. Perbandingan
Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian Menurut Subsektor Tahun 2003 dan 2013
Tabel 2. Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian Menurut Subsektor Tahun
2003 dan 2013
Sumber: Sensus Tani 2013 Kabupaten
Tapanuli Utara, BPS
C. Analisis Location Quotient Kabupaten
Tapanuli Utara
Adapun
hasil perhitungan perbandingan stuktur ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara
terhadap Propinsi Sumatera Utara dengan menggunakan Analisis LQ disajikan dalam
Tabel 3 berikut ini:
Tabel 3. Perhitungan LQ
Kabupaten Tapanuli Utara terhadap
Propinsi Sumatera Utara
Sumber:
Hasil Analisis Penulis, 2014
Dari Analisis Data
terhadap Nilai Location Quotient (LQ) Kabupaten Tapanuli Utara untuk Tahun
2008-2012 (kurun waktu 5 tahun terakhir), dapat ditarik kesimpulan utama, yaitu
:
Ø Ada
3 sektor selama kurun waktu 5 tahun terakhir memiliki Nilai LQ > 1, yaitu
Sektor Pertanian, Listrik, Gas dan Air Minum, dan sektor Jasa-jasa;
Ø Nilai
LQ tertinggi didominasi dari kegiatan Pertanian, sedangkan Nilai LQ terendah
diperoleh dari kegiatan Pertambangan dan Penggalian dan Industri;
Ø Nilai
LQ Kabupaten Tapanuli Utara kategorinya cenderung statis, dalam arti tidak
mengalami kenaikan dan penurunan nilai yang signifikan
Untuk melihat secara lebih jauh
perkembangan Nilai LQ dari masing-masing sektor adalah sebagai berikut, yaitu :
§
Sektor Pertanian
; Sektor ini mendominasi Nilai LQ tertinggi, yaitu > 1. Angka ini menunjukkan
bahwa rata-rata kegiatan ekonomi terbesar di Kabupaten Tapanuli Utara masih
didominasi sektor pertanian. Hal ini diakibatkan oleh masih tersedianya luasan
wilayah yang memadai bagi masyarakat dan masih memungkinkan untuk melakukan
kegiatan ekstensifikasi pertanian. Disisi lain tingkat urbanisasi cukup tinggi
yang berasal dari wilayah ini, terutama bagi penduduk yang berusia muda
(angkatan sekolah) yang mencari fasilitas pendidikan (SMU dan Perguruan Tinggi)
ke Ibukota Propinsi Sumatera Utara, yaitu Kota Medan. Kondisi ini mengakibatkan
tenaga-tenaga potensial terserap ke kota, dan apabila telah menyelesaikan
studinya lebih memilih tinggal menetap dan melanjutkan kehidupan di kota,
sehingga asimilasi penduduk dari yang telah meningkat pendidikannya dengan yang
belum tidak terjadi. Kegiatan sektor pertanian ini didominasi oleh kegiatan
sawah padi darat, perladangan sayur, dan yang 5 tahun terakhir ini trendnya
semakin meningkat adalah perkebunan kopi.
§ Sektor Pertambangan dan Penggalian ; Sektor
ini sangat kecil sumbangannya bagi PDRB Kabupaten Tapanuli Utara. Walaupun
terjadi peningkatan penerimaan setiap tahun, tapi nilai kenaikannya tidak
signifikan. Kegiatan ini lebih banyak didominasi oleh kegiatan Galian C (pasir)
dan pengerukan tanah (tanah timbun). Pengerukan tanah untuk pengambilan tanah
timbun semakin lama semakin marak dilakukan dikarenakan ada peningkatan
kegiatan proyek pembangunan oleh pemerintah untuk pembangunan infrastruktur
jalan dan bangunan pelayanan publik. Jika dilihat dari topografi Kabupaten
Tapanuli Utara yang berbukit-bukit, maka banyak bukit-bukit tersebut sudah rata
dengan tinggi jalan, karena dijadikan sumber utama utk penggalian tanah timbun.
§ Sektor Industri
; Sektor ini juga sangat kecil sumbangannya bagi PDRB Kabupaten Tapanuli Utara.
Walaupun juga terjadi peningkatan penerimaan pada tahun 2011 dan 2012, tetapi
belum mampu mengangkat nilai LQnya sendiri. Penerimaan dari sektor ini lebih
diutamakan dari kegiatan industri pengelolaan hasil pertanian terbatas, yaitu
pengolahan biji kopi menjadi bubuk kopi. Disisi lain ada kegiatan industri
rumah tangga yang diperoleh dari kegiatan kerajinan tenun ulos, kerajinan
pembuatan gitar dan kacang goreng Sihobuk.
§ Sektor Listrik, Gas dan Air Minum
; Sektor ini jika dilihat Nilai LQ nya > 1, dengan kecenderungan ada
kenaikan penerimaan pada tahun 2011 dan tahun 2012. Jika dilihat perbandingan
penerimaan uang yang dihasilkan dari tahun ke tahun dengan penerimaan sektor
industry di PDRB Kabupaten Tapanuli Utara, maka penerimaan sektor ini lebih sedikit.
Tetapi jika dibandingkan dengan penerimaan PDRB Propinsi Sumatera Utara maka
penerimaan sektor ini di Kabupaten Tapanuli Utara lebih tinggi.
§ Sektor Bangunan
; Sektor ini dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup baik, dan
diperkirakan pada 2 tahun kedepan Nilai LQnya akan mencapai 1 atau > 1. Hal
ini dilihat dari trend angka yang bergerak naik terusyang diakibatkan oleh
populasi masyarakat yang semakin berkembang, sehingga membutuhkan bangunan
terutama rumah sebagai hunian.
§ Sektor Perdagangan, Hotel dan
Restoran ; Sektor ini masih memiliki angka LQ < 1, tetapi
jika dilihat dari penerimaan setiap tahunnya cukup signifikan selama kurun
waktu 2 tahun terahir tahun 2011 dan tahun 2012. Hal ini mungkin disebabkan
oleh semakin meningkat dan beragamnya kebutuhan masyarakat, yang juga didukung
oleh tingkat kunjungan wisatawan ke daerah ini, dimana ibukota kabupaten ini
dicanangkan sebagai Kota Wisata Rohani.
§ Sektor Pengangkutan dan Komunikasi ;
Sektor ini jika ditinjau dari penerimaan setiap tahun mengalami peningkatan,
tetapi Nilai LQnya masih rendah. Kondisi ini terjadi karena tidak terlalu
banyak kegiatan kota kabupaten, sehingga tidak mengakibatkan banyaknya arus
transportasi dan komunikasi dari daerah-daerah sekitarnya. Daerah kabupaten cenderung
masih tradisional, sehingga pemusatan kegiatan ekonomi terpusat pada hari-hari
tertentu saja, atau yang sering disebut dengan Hari Pekan. Disisi lain
rata-rata anak sekolah yang bersekolah di pusat ibukota kabupaten biasanya
memilih menetap di ibukota tersebut dikarenakan jarak yang cukup jauh yang
harus ditempuh mereka apabila melakukan perjalanan setiap hari dari desa
asalnya.
§ Sektor Keuangan, Asuransi, Usaha
Persewaan Bangunan dan Tanah, Jasa Perusahaan ;
Sektor ini juga mengalami peningkatan penerimaan terutama pada tahun 2011 dan
tahun 2012, tetapi nilai LQ nya masih jauh dibawah 1. Kondisi ini disebabkan
oleh masih banyak masyakarat yang melakukan kegiatan keuangannya dengan tidak
menggunakan jasa bank. Disisi lain pengetahuan masyarakat tentang asuransi juga
masih minim, jikalaupun ada pengaruhnya kemungkinan dibawa dari luar wilayah
kabupaten, diperoleh dari ibukota Propinsi Sumatera Utara. Untuk usaha
persewaan bangunan masih banyak masyarakat yang cenderung tidak melakukannya,
dikarenakan ikatan kekerabatan masih cukup kuat, sehingga jarang sekali
masyarakat yang menyewakan bangunanmya. Begitu juga dengan persewaan tanah,
rata-rata masyarakat melakukan sistem barter terhadap pemakaian tanah yang
bukan miliknya, biasanya ditukar dengan hasil panen. Untuk perusahaan
dikarenakan tidak banyak kegiatan industri, maka mengakibatkan perusahaan yang
berdiri juga tidak banyak. Jikalaupun ada rata-rata perusahaan yang ada
didominasi perusahaan jasa konstruksi, tetapi tidak banyak yang bertahan aktif dikarenakan
proyek pemerintah yang ada juga terbatas.
§ Sektor Jasa-Jasa ;
Sektor ini memiliki kenaikan penerimaan yang cukup baik dari tahun ke tahun,
sehingga mengakibatkan Nilai LQ nya > 1. Sektor ini didominasi oleh dari
kegiatan jasa tenaga kesehatan dan jasa pertukangan. Semakin bertambahnya
kegiatan dan pertumbuhan masyarakat mengakibatkan tumbuh pesatnya kebutuhan
akan hunian dan penyediaan layanan kesehatan.
Dengan melihat keadaan
hasil analisis tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Sektor Pertanian di
Kabupaten Tapanuli Utara merupakan Sektor Basis, atau dengan kata lain sektor
ini dengan beberapa sub-sektornya merupakan sektor unggulan ekonomi dari
struktur perekonomian Kabupaten Tapanuli Utara selama kurun waktu 5 (lima)
tahun terakhir.
VII. KESIMPULAN: UPAYA PENINGKATAN DAYA
SAING SEKTOR UNGGULAN
Perkembangan pembangunan
daerah semakin hari semakin dinamis, disatu sisi memberikan efek positif,
tetapi juga memiliki dampak yang negative pula. Kritik terhadap situasi
pembangunan tidak hanya berimplikasi kepada penetapan kebijakan dan program
pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah, tetapi juga memaksa terjadinya
pergeseran nilai-nilai pada tingkatan kehidupan sosial masyarakat. Oleh sebab
itu, maka upaya meningkatkan daya saing suatu wilayah tidak terlepas dari
faktor didalam (inward linkages) dan faktor luar (outward linkages) wilayah itu
sendiri, baik itu menyangkut ketersediaan sumberdaya alam, kecakapan sumberdaya
manusia dan pola hubungan yang tercipta antar keduanya.
Indonesia, termasuk seluruh
wilayah yang ada didalamnya telah memasuki tahapan baru yang dikenal dengan
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Tahapan ini merupakan sebuah tantangan dari
konsekuensi globalisasi. Globalisasi menyebabkan persaingan produk barang dan
jasa yang ditawarkan tinggi, dimana relative akan terjadi kesamaan produk, baik
itu dalam desain, kualitas, harga dan lain sebagainya. Oleh karena itu perlu
sesuatu yang unik dan berbeda, agar daya saing produk memiliki pangsa pasar
optimal, baik itu dalam negeri maupun luar negeri.
Ada beberapa upaya yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing Sektor Basis dalam suatu wilayah,
antara lain:
Ø Melakukan
pemetaan potensi daerah (sumberdaya) termasuk juga kaitannya dengan supply dan
demand
Ø Penguatan
institusional agar menghasilkan rumusan strategi kebijakan dan program kegiatan
(rencana strategis), yang mampu mempertahankan dan meningkatkan potensi ekonomi
wilayahnya. Pola kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan pihak swasta
dikembangkan dengan prinsip akuntabilitas, professional, efisien dan efektif,
agar hasil yang dicapai maksimal.
Ø Memperkuat
seluruh jaringan infrastruktur (fisik, ekonomi dan sosial), untuk mendorong
potensi daerah, termasuk didalamnya meningkatkan daya saing dan kualitas Sumber
Daya Manusianya.
Ø Memaksimalkan
penguasaan rantai ekonomi (hulu-hilir), agar tercipta pola hubungan produksi
yang sinergis, dari sumberdaya dasar (raw material) menjadi produk jadi (market
product). Keadaan ini akan menciptakan pola hubungan input-output produksi yang
efisien dan efektif.
Ø Melakukan
perbaikan-perbaikan yang dapat mendorong tumbuhnya usaha-usaha baru, industri
baru, lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.
Ø Adanya
penguasaan teknologi sehingga melahirkan inovasi dan kreatifitas dalam menghasilkan
diversifikasi produk.
Ø Rasionalisasi
terhadap kondisi makro dan mikro ekonomi suatu daerah hendaknya tidak melakukan
“hubungan yang tidak sehat antar unsur kekuasaan dan para pemilik modal besar”,
sehingga dengan demikian potensi saling kontradiksi antar keduanya dapat
diminimalisir.
Ø Mendorong
tumbuhnya ekonomi rakyat dengan terus meningkatkan penggunaan produksi lokal
sebagai upaya menciptakan local economic development (LED). Kondisi ini akan
menciptakan ketahanan ekonomi (economic resilience) masyarakat itu sendiri.
Kemandirian suatu daerah
dalam era globalisasi ini adalah pekerjaan yang tidak mudah dan panjang,
kemudian tidakterlepas dari kebutuhan adanya daya saing dalam proses pembentukannya.
Daya saing tidaklah hanya berorientasi pada indikator ekonomi saja, tetapi
lebih jauh lagi yaitu daya saing tersebut diartikan sebagai kemampuan daerah
untuk menghadapi tantangan dan persaingan global untuk peningkatan
kesejahteraan hidup rakyat yang nyata dan berkelanjutan serta secara politis,
sosial dan budaya dapat diterima oleh seluruh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Todaro. 1998. Pembangunan
Ekonomi Di Dunia Ketiga, Erlangga. Jakarta.
Arsyad, Lincolin. 2002. Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi
Daerah.Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Sinukaban. 2007. Pembangunan Daerah
Berbasis Strategi Pengelolaan DAS. Makalah
pada Semiloka Pengelolaan DAS “Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan Daerah Sungai”,
Lampung 13 Desember.
Rustiadi, Ernan, et al. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan YOI.
Porter,M.E. 1990. The Competitive
Advantage of Nations. The Free Press. New York.
Scott, B. R. and Lodge, G. C. 1985. US Competitiveness in the World
Economy. Boston: Harvard
Business School Press.
Huggins. 2003. Creating a UK Competitiveness Index: Regional
and Local Benchmarking. Regional Studies, Vol.37, page
89-96
Meyer dan Stamer, 2003, The PACA Book Of Concepts, www.mesopartner.com.
Alkadri,et al. 2001. Manajemen Teknologi
untuk Pengembangan Wilayah. Edisi Revisi. Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.
Kuncoro, Mudrajat dan Aswandi Hs,2004.
Evaluasi Penetapan Kawasan Andalan: Studi Empiris di
Kalimantan Selatan 1993-1999, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia,Vol. 16,
No.1.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
2011. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tapanuli Utara
2011-2031. Bappeda. Tapanuli Utara.
Badan Pusat Statistik, 2008. Kabupaten Tapanuli
Utara Dalam Angka 2008.
Badan Pusat Statistik, 2009. Kabupaten Tapanuli
Utara Dalam Angka 2009. BPS. Tapanuli Utara.
Badan Pusat Statistik, 2010. Kabupaten Tapanuli
Utara Dalam Angka 2010. BPS. Tapanuli Utara.
Badan Pusat Statistik, 2008. Kabupaten Tapanuli
Utara Dalam Angka 2011. BPS. Tapanuli Utara.
Badan Pusat Statistik, 2012. Kabupaten Tapanuli
Utara Dalam Angka 2012. BPS. Tapanuli Utara.
Badan Pusat Statistik, 2013. Kabupaten Tapanuli
Utara Dalam Angka 2013. BPS. Tapanuli Utara.
Badan Pusat Statistik, 2013. Propinsi
Sumatera Utara Dalam Angka 2013. BPS. Sumatera Utara.
Berita Resmi Statistik. 2013. No. 12/12/1205/Th.I,
2 Desember 2013. Hasil Sensus Pertanian
2013 Kabupaten Tapanuli Utara (Angka Tetap). BPS. Tapanuli Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar